Jawaban ‘ya’ kurasa hanya milik jiwa-jiwa sok melankolis yang terlalu banyak menonton drama percintaan. Isi kepala mereka hanya seputar hujan, berpelukan, beromantis ria, saling bertatapan mesra, sambil sesekali menyesap kopi dari cangkir bergambar dua insan.
Aku menyukai hujan. Usai ia pergi, rerimbunan di halaman rumahku akan semakin menghijau. Tak lama kemudian akan tumbuh titik-titik berwarna-warni, melahirkan kuncup, mengembang, berbuah hingga ranum. Aku menyukai kopi. Kopi hitam di dalam gelas bening yang hanya diisi tiga perempatnya saja. Ingatanku akan terbang pada sebuah rumah joglo berdinding setengah bata setengah bambu. Alasnya sebagian dari ubin tegel abu-abu dan sebagian lagi berupa tanah. Mengingatkanku pada rumah masa kecil. Aku menyukai Cinta. Sayangnya aku tidak tahu apakah dia juga menyukaiku.
***
Aku melihat mereka berdua. Sepasang kekasih yang sempurna. Lelakinya berwajah tampan dengan rahang kokoh. Samar terlihat titik-titik sisa bercukur yang tak sempurna. Kemeja biru bergaris yang dikenakan jatuh ke bahu lebarnya dengan begitu pas. Langkah kakinya penuh percaya diri menuju sebuah meja di sudut kedai. Seorang perempuan cantik telah menunggunya di sana, dengan secangkir kopi panas yang asapnya mengepul hingga ke bola mataku. Senyum mereka teruntai dalam. Tepat di belakang perempuan itu, sebuah jendela kayu terbuka lebar. Gerimis yang mengalun 15 menit yang lalu tampaknya mulai meliar menjadi hujan. Angin membawa rinainya menyentuh rambut bergelombang perempuan itu, membuatnya terjengkit sesaat.
Si lelaki sigap berdiri. Ia menutup jendela. Meluruhkan belaian di sepanjang kemilau rambut perempuannya yang sedikit kecoklatan. Seolah memastikan tak satu sentipun rambut itu kuyup lalu rusak oleh hujan. Perempuan itu tersenyum dan berkata, “tidak apa-apa.” Sedetik kemudian tangannya melambai ke arah meja pelayan.
“Kopinya satu lagi!” Merdu suara perempuan itu terdengar.
Seorang gadis muda berseragam dengan celemek menempel di tubuh, berjalan cepat lalu kemudian segera mengangguk dan berbalik arah mendengar suara perempuan merdu itu.
Lelaki tampan itu telah kembali ke kursinya. Mereka berdua saling meraih jemari. Tatapan mereka bertemu, senyum mereka beradu. Perlahan, lelaki itu melepaskan tautan jemarinya. Ada kecewa singgah dalam pancaran mata perempuan di hadapannya. Sekejap saja. Setelahnya, ada tanda tanya menggelayut di wajah oval itu. Bibir merah basahnya membuka, namun lekas-lekas ia tutup dengan kelima jemari lentiknya. Ada kejora menari di mata saat lelakinya mengucapkan barisan kata.
“Maukah kamu menikah denganku?”
Sebuah anggukan dalam menyusul setelahnya.
Hujan dan kopi hadir di antara cinta mereka.
***
Perempuan itu terus mengetuk-ngetukkan pulpen yang terselip di antara jemarinya ke atas meja. Bunyi ‘tak-tuk-tak-tuk’ perlahan tenggelam ditelan hiruknya suara pengunjung. Rambut lurus sebahunya dihiasi bandana bermotif batik. Beberapa kali tangan kirinya bergerak menyembunyikan rambut di belakang telinga. Sudah 1 jam lamanya ia menunggu. Sambil menggumam tak jelas, ia berdiri, berjalan mondar-mandir, melongokkan kepala ke arah jendela lebar berkaca, lalu kembali menghempaskan tubuh pada sebuah sofa. Bunyi ‘tak-tuk’tak-tuk’ pulpen tak lagi terdengar. Berganti menjadi gerakan menghentak perlahan dari kaki kanannya yang terbalut sepatu kets dengan permukaannya basah oleh hujan. Begitu pula 2 koper di sampingnya.
“Maaf, ya. Aku terlambat. Hujannya deras sekali.” Perempuan itu seketika menoleh. Raut kesal semakin menutupi wajah yang sesungguhnya manis itu. Ia tak peduli pada lelaki di hadapannya yang masih sibuk merapikan rambut yang basah oleh hujan. Pun jaket , sepatu, dan celananya yang sudah mulai berjerawat oleh cipratan lumpur. Sama seperti perempuannya, lelaki itu pun tak peduli dengan wajah kesal si wajah manis. Ia malah menjentikkan jemari di ujung hidung mungil perempuan itu.
“Apa-apaan, sih?” Si pemilik hidung mungil berulah marah.
“Marah?” Lelaki itu mencoba mencairkan kekakuan. Bola matanya berputar jenaka.
“Kenapa terlambat?” Perempuan itu malah balik bertanya.
“Kan aku sudah bilang. Hujan, sayang.” Diraihnya secangkir kopi di atas meja. Menyeruputnya perlahan sebelum kemudian berpindah posisi menuju sisi kanan perempuannya. Perempuan itu bergeser cepat.
“Iya, aku tahu di luar hujan. Tapi kenapa sih harus selalu terlambat saat hujan?”
“Ya pasti dong. Hujan deras, air menggenang di mana-mana, ujung-ujungnya jalanan macet juga. Masuk akal, kan?” Lelaki itu menjelaskan penuh percaya diri. Seolah-olah perempuannya akan mengamini ucapan yang sudah berulang keluar dari bibirnya.
Perempuan itu semakin menggeser posisi duduknya. Dihelanya napas panjang, menyentil-nyentil kuku dengan ujung ibu jarinya.
“Aku bisa berdamai dengan hujan. Kamu tidak. Bahkan hari ini. Saat kamu tahu aku hanya punya 1 jam untukmu. Satu jam sebelum jarak dan waktu menjadi jurangnya. Dan sekarang, 1 jam itu sudah habis. Aku harus berangkat sekarang.”
Langkah cepat perempuan dan 2 kopernya itu berakhir dengan tatapan kosong lelakinya. Lagi-lagi ia lupa, stasiun selalu saja memaksa perempuan itu pergi darinya.
***
Hujan, Kopi, dan Cinta. Bagaimana mungkin aku menaburkan 3 kata itu ke dalam episode cintaku? Kota tempatku tinggal nyaris tak pernah disinggahi hujan. Panas berkepanjangan menggerayangi tempat ini. Menyisakan debu-debu dan tanah terbelah tak terjamah dedaunan. Hujan, dijatuhcintai, dirindui, tapi tak perlu menyiksa diri untuk menanti. Toh, wajah dan hati tak kan pernah kehilangan pesonanya selama pancaran mata masih mengiringkan sejuk.
Meneguk satu atau dua teguk kopi akan tetap nikmat meski di tengah panasnya panggangan matahari. Bagaimanapun, kopi tak akan pernah kehilangan istimewanya. Tapi, ada pilihan lain yang lebih masuk akal untuk menghadapi hari yang terus digumuli sinar matahari. Seperti saat ini. Lebih dari 8 bulan lamanya. Segelas es teh dan seulas senyumnya.
Cinta. Aku tidak kehilangan cerita cinta meski tanpa hujan dan kopi. Aku sudah terlanjur akrab dengan terik matahari dibandingkan hujan. Aku lebih bernafsu meneguk habis segelas es teh dibandingkan menyesap dalam-dalam secangkir kopi. Aku lebih mencintai Cinta dibandingkan mereka yang menjujung tinggi hujan dan kopi sebagai kawan bercinta.
Namanya Cinta. Perempuan muda yang belum lagi genap berusia 20 tahun. Kulit sawo matangnya tampak begitu eksotis di mataku. Rambut lurus sebahunya, ia biarkan berponi, semakin mengakrabkan wajah kekanakan itu di mataku. Aku teramat sering mengambil kesempatan menyentuh sedikit saja kulit jemarinya kala ia menyodorkan segelas es teh di warung tempatnya bekerja. Ia menyadari itu. Wajahnya terkadang bersemu malu, terkadang hampa tanpa kata, hanya diikuti wajahnya yang tertunduk lalu menghilang di balik pintu.
Namanya Cinta. Aku menyukainya, tanpa pernah menyatakan cinta. Menyadarinya, aku hanya bisa mengumpat dengan kata-kata yang itu-itu saja. Sungguh, terik matahari dan es teh tak cukup indah ungkapkan cinta. Mungkin setelahnya aku perlu mengembara menemukan rinai hujan dan secangkir kopi.
The happier me,
-Melina-