Mungkin saya harus menggunakan kata lain yang lebih padat supaya kepala saya ini tidak perlu belok-belok ke jalanan lain. Piknik, tamasya, berlibur, eh tapi kok saya lebih suka ini, ya: “menikmati akhir pekan”. Tiga kata pertama sepertinya ‘memaksa’ kita untuk keluar rumah yang jauh, minimal ke luar kota. Aduh, berhubung tidak setiap akhir pekan saya bisa ke luar kota, saya pilih ‘menikmati akhir pekan saja’. Setuju? Harus. Tidak setuju tidak usah baca lanjutan tulisan saya ini. Jual mahal sedikitlah 😀
***
Sibuk di kantor 5 hari penuh dalam seminggu, belum termasuk ‘kewajiban’ merespon panggilan masuk, mengirimkan email dan membalas email di dalam perjalanan, dan melaksanakan janji menelepon klien, tentu saya butuh yang namanya ‘me time’. Tidak usah pakai ribet seharian di mall berbelanja ini itu atau bersantai di salon. Punya waktu duduk-duduk sendiri sambil membawa netbook beserta chargernya, ponsel beserta chargernya, membiarkan jemari saya menari di atas keyboard. Wah! Itu sudah luar biasa indah. Sebotol air putih dan cokelat jadi makanan wajib. Kalau perut sedang oke, secangkir dua cangkir cappuccino atau caffe latte, bakal bikin ‘me time’ semakin indah.
Sebagai orang sensing, saya sadar betul bahwa otak saya baru bisa bekerja dengan lancar kalau tubuh saya banyak bergerak. Teman-teman di kantor pasti tahu setidaknya setiap setengah jam saya pasti keluar ruangan, melihat ini-itu, sekalian sidak hahaha … Sebab kekuatan saya adanya di otot, kalau otot tidak banyak dilatih, sama seperti saya mempersilakan kelemotan otak datang menghampiri. Terus terang saya sedikit kapok bergerak (baca: olahraga) di pusat kebugaran. Bukan salah pusat kebugarannya ya (memang sih, mahal). Betul-betul saya merasa sehat jiwa raga kalau sudah keluar dari sana. Lalu kenapa? Tidak untuk masuk postingan blog hari ini. Besok, ya.
Car Free Day. Nah! Di sini nih salah satu tempat ‘bercumbu’ yang menyenangkan. Ups, vulgar, ya Bacanya jangan berhenti di sini, dong. Cukup mengenakan kostum olahraga, membawa tas kecil berisi sebotol air putih, ponsel, headset terpasang di kepala dan telinga, dan pastinya jangan lupa bawa uang. Setidaknya untuk bayar angkot. Ya kali saya mau lari dari rumah saya di Katulampa sampai di arena Car Free Day di seputaran istana Bogor. Semaput iya.
Paling enak berangkat pada pukul 5 pagi. Udara masih segar. Angkutan kota belum ada istilah ngetem. Jalan kaki dari rumah sampai depan komplek kurang lebih 10 menit, dengan kepala mengangguk-angguk. Ini karena mendengarkan musik, bukan mengantuk. Kalau masih pagi, kira-kira butuh 20 menit untuk mencapai Tugu Kujang. Oke, sip. Pukul 05.30 lari-lari kecil dimulai dari Tugu Kujang sampai pintu masuk Jl. Jalak Harupat. Kira-kira butuh 10 menit. Sampai Jl. Jalak Harupat pukul 05.40, lari yang sebenarnya dimulai.
Saya berlari dengan konstan saja, tidak perlu ngebut. Intinya harus tetap berlari. Jangan lari, jalan, lari, jalan. Susah atur napasnya. Pelajaran ini saya dapat belasan tahun lalu waktu ikut salah satu ekskul yang olala kegiatannya baris, lari, push up, squad jump, baris lagi. Heran, kok dulu saya mau, ya?
Tapi sepagi itu area Car Free Day sudah dipadati ‘atlet-atlet’ dadakan. Jadi susah juga kalau mau lari terus. Masa iya, ada orang di depan mau ditubruk juga. Kalau bagian tengah jalan kosong sih, saya masih memilih turun dulu dari trotoar ke jalan, baru naik lagi ke trotoar. Tapi yang biasa terjadi, area tengah jalan pun dipenuhi orang-orang yang main sepatu roda, main bola, bersepeda, atau orang yang lari juga sambil menggeret seekor anjing. Tidak tanggung-tanggung, anjing yang dibawa selalu besar. Saya suka sama anjing –apalagi kalau dia berbodi gagah, ih keren- tapi kalau belum kenal, ya amannya saya menghindar.
Terus berlari, atur napas dengan baik, sebab setelah jembatan jalanannya akan terus menanjak sampai bertemu pintu gerbang utama Istana Bogor. Di sebelah kanan saya, ada tanah lapang yang dinamakan Lapangan Sempur. Apa ya, ini seperti alun-alunnya Kota Bogor. Saat ini saya tidak akan mampir ke situ dulu.
Nah, di depan jembatan ini nih biasanya sekumpulan ABG malah menyulitkan area berlari saya karena mereka duduk bergerombol di trotoar sepanjang jembatan itu. Ada juga sebagian yang duduk-duduk di besi pembatas jembatan. Kadang otak saya suka iseng, “kecebur, baru tahu rasa.”
Tapi saya pernah dong mengalami ‘muda’ dan melakukan hal sama seperti mereka. Bukan masa ABG tentunya. Sudah lewat masa itu di kota lain. Memang enak duduk-duduk di sana, sambil memandangi aliran sungai Ciliwung yang berbatu di bawahnya.
Lebih enak kalau musim hujan, terasa sejuk, damai, syahdu. Berkebalikan saat kemarau, sungainya menjadi kolam batu kali. Selesai melamun di tepi jembatan. Yuk, kita berlari lagi. Mulai menanjak nih. Beruntung saya punya berat badan yang tidak berat. Jadi seharusnya jangan mempertanyakan berat badan ke saya. Lebih cocok kalau bertanya, “timbangannya berapa?” Eh, tapi bingung juga. Saya kan tidak jualan timbangan.
Dalam waktu kurang lebih 30 menit, sampai deh kita di ujung Jl. Jalak Harupat. Kalau sudah sampai di sini dan berbalik badan ke arah lari sebelumnya, wah … lumayan jago juga ya bisa sampai di tempat ini. Selain merasa ‘jago’ sanggup konsisten berlari –sombong sedikit tak apa ya- pemandangan lain juga ikut menggoda. Bukan cuma hijaunya pepohonan. Setiap berlari, saya berusaha tidak tengok kanan-kiri, apalagi ke atas dan ke bawah, ini jangan banget deh, nanti kesandung. Sepanjang jalan, banyak penjual makanan. Tahu dong, betapa air liur langsung menetes menatap mereka.
Kalau sudah ‘me time’ ala atlet begini, saya suka bertingkah seperti orang galau. Tadi kan sudah berlari menyusuri Jl. Jalak Harupat sampai ke ujungnya, nah biasanya saya akan balik arah lagi. Galau bukan, namanya?
Balik arahnya tetap berlari, ya. Tapi kecepatan diturunkan saja berhubung jalannya menurun. Silakan saja ngebut kalau mau berujung menggelinding ke bawah, lalu jadi ‘santapan’ para pemain sepatu roda tadi. Di kiri jalan, pedagang kagetan tumpah ruah. Ada penjual pakaian seperti daster dan baju tidur, sandal, topi, kaos kaki, makanan, balon, minuman, macam-macam, deh. Saya tidak tertarik untuk singgah. Kan, niatnya mau olahraga.
Berlari menurun begini, musik biasanya saya matikan. Tidak ada hubungan dengan apa-apa, sih. Tapi telinga saya pegal, mulai panas. Lebih asyik mendengarkan keriuhan alami saja. Dalam waktu kurang lebih 10 menit, kita sudah sampai nih di jalan menikung ke kiri dan menurun menuju Lapangan Sempur. Butuh waktu sekitar 5 menit berjalan kaki untuk sampai di sana. Tidak mungkin berlari sebab jalanan ini padat oleh pedagang kagetan dan segala macam booth. Sekarang pukul 06.25. Masih terlalu pagi untuk duduk-duduk. Jadi, ayo berlari lagi. Kali ini mengitari Lapangan Sempur.
Setiap pukul 06.00 diadakan senam bersama di Lapangan Sempur ini. Macam-macam, mulai dari aerobik sampai zumba. Tapi saya lebih suka ala berlari seperti tadi. Sekarang berhubung sudah terlambat juga untuk ikutan senam, kembali ke rencana awal, berlari mengitari lapangan. Sebenarnya lebih enak lari di atas tadi dibandingkan di sini. Lapangan Sempur ini tanahnya kering. Kalau kondisi hujan, becek. Kondisi kemarau, panen debu dari hentakan sepatu orang-orang yang melewatinya. Berlari di sini juga penuh tantangan. Harus ekstra hati-hati saat melewati orang-orang yang sedang senam, hati-hati juga terkena sambitan bola voli. Tidak perlu heran. Sebab bagian tengah lapangan memang dimanfaatkan untuk berbagai macam olahraga. Mulai dari bola voli, futsal, bulu tangkis, dan bersepeda.
Tiga putaran cukup, ya. Jangan terlalu banyak, toh lemak yang harus dibakar juga minimalis. Tiga putaran dengan waktu sekitar 25 menit. Sekarang pukul 06.50. Istirahat dulu di tepian. Jadi, setelah lapangan, di sisi luarnya jalur berlari, sebelah luarnya lagi tempat istirat sekaligus tempat orang berdagang. Berada di area Car Free Day ini menyehatkan, lho. Coba bagaimana tidak sehat sebab ini tempat yang pas sekali untuk tubuh kita bergerak. Alamiahnya, tubuh memang diciptakan untuk bergerak, bukan? Kalau ada yang sering merasa pegal linu, mudah lelah, coba dicek, mungkin kurang bergerak tuh.
Selain sehat di badan, perut pengunjung juga kenyang. Semangat deh kalau membahas makanan. Bagaimana tidak kenyang, coba? Mau cari jajanan apa saja ada. Tapi jajanan kampung, ya. Jangan cari makanan ala-ala Eropa di sini. Mulai dari ketropak, lontong sayur, siomay, batagor, cimol, cilok, bakso tusuk, bakso goreng, kue cubit, kue ape, sate ayam, roti bakar, aneka minuman botol, sampai susu kedelai. Biasanya ada 2 (dua) ibu yang menggelar dagangannya di atas tikar dengan jumlah pembeli yang wah sampai harus antri. Mereka berdua ini dagangannya sama, pecel, mie gelosor, bihun goreng, urap, tumis daun pepaya, lengkap dengan aneka gorengan. Di Indonesia, gorengan itu jadi makanan favorit banget kan, ya?
Selain pedagang makanan, di Lapangan Sempur ini biasanya juga ada booth-booth yang disewa oleh komunitas. Setahu saya, biasanya ada 1-2 orang yang berdiri menjaga booth untuk sekedar sosialisasi komunitas mereka, menjadi mediator donasi, atau menginformasikan lomba atau kompetisi. Berhubung saya lumayan doyan mengajak orang ngobrol, saya suka tanya-tanya kegiatan mereka itu apa. Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Dapat sehat iya, kenyang iya, informasi juga iya. Pernah saya ditawari ikut lomba hormat bendera dalam rangka memperingati Dirgahayu Kemerdekaaan Republik Indonesia. Tidak tanggung-tanggung! Berdiri 17 jam. Mulai pukul 21.00 sampai keesokan harinya. Peserta boleh istirahat untuk melaksanakan ibadah, ke toilet, atau minum sesekali. Hadiahnya oke, lho. Kalau tidak salah ingat, uang tunai Rp 5 juta dan menginap 3 hari 2 malam di Hotel Salak, Bogor.
Sudah segar, kenyang, dan takut bosan kalau orang-orang itu saya ajak ngobrol, sekarang waktunya pulang. Jalan kaki saja, ya. Saya memilih balik arah, seperti rute saat pertama berlari tadi. Hampir pukul 08.00. Jalan kaki santai sambil mengusap peluh. Pakai tangan (hii .. kotor, ya) soalnya saya sering lupa bawa handuk kecil. Jangan lupa, menyeberang jalannya lewat area bawah tanah. Selain tidak mengganggu arus lalu lintas di jalan raya, tempatnya juga oke. Di bawah situ biasanya ada anak-anak muda (maksudnya lebih muda dari saya, saya juga masih muda, kok) yang bermain musik. Asyik deh mendengarkan mereka main musik sambil bernyanyi.
Bagi yang suka berfoto, dinding-dindingnya lumayanlah bisa jadi background yang unik. Sepertinya sih kreasi mahasiswa-mahasiswi kampus. Ada juga banner yang berwajahkan Bapak Presiden kita. Saya sih belum pernah berfoto di situ. Kapan-kapan boleh jugalah.
***
Selesai sudah ‘the simplest me time’ ini. Sepertinya Bogor ini kecil saja, ya. Dari sudut ke sudut bertemunya dia lagi-dia lagi (baca: Kebun Raya Bogor). Adakalanya saya sebal dengan kota ini. Dia tidak lagi sesegar dulu, sehijau dulu. Dia berubah, panas dan semacet Jakarta. Tapi ternyata, pagi-pagi menjalin romantisme lagi, dia masih asyik kok diajak berkencan. Semungil-mungilnya Bogor, kalau dinikmati, tak cukup dua jam mencumbuinya. Ini baru urusan lari-larian, lho. Tuh, hitung. Berapa jam saya ngider-ngider di sana.
Happy Monday!
The happier me,
-Melina-