Kalau saya malah kebalikannya. Saya pintar sekali berakting. Untung saya punya wajah biasa-biasa saja sehingga tidak menarik minat produser untuk mengajak main sinetron. Beberapa waktu lalu, saya bertemu dengan teman-teman dari luar kota. Sebuah pertemuan singkat, dua jam saja, yang sanggup membuat hati saya terombang-ambing. Tidak, saya tidak bertemu dengan teman-teman berwajah robot yang sulit tertawa. Justru sebaliknya, lima orang yang berkumpul bersama malam itu semuanya mudah tertawa. Saya tidak akan membahas di sini apa yang kami obrolkan malam itu. Dua jam yang padat berisi deh, pokoknya. Salah satu dari mereka adalah seorang grapholog, ahli membaca tulisan.
Lewat tulisan tangan saya yang hanya satu paragraf, tanda tangan dan nama lengkap, teridentifikasi bahwa saya ini orang yang pintar mengatur situasi hati, wajah, dan perilaku. Yah, beliau sih tidak bicara begitu. Ini bahasa saja saja -yang kalian tahu deh- suka kena penyakit komplikasi antara gelo dan hiperbola. Intinya ya itu, saya pintar akting.
Apa kabar saya belakangan ini? Ini malah ngomong sama diri sendiri, ya. Honestly, I am not in a good condition. Totally stressed. Menjadi orang yang berada di garda depan perusahaan bukanlah hal yang mudah. Sebagai perusahaan yang banyak menangani klien dari perusahaan minyak dan gas bumi maupun penunjangnya, tidak stabilnya harga minyak mentah dunia, turut memporakporandakan keuangan perusahaan. Bagaimana tidak? Klien minta turun harga, pembayaran berjalan lambat, sedangkan Upah Minimum Propinsi (UMP) pastinya naik setiap tahun. Biaya operasional pun grafiknya seperti memanjat bukit. Pertanyaan sederhana, harga apa sih di negara kita yang bergerak turun? Jawab sendiri.
Kemampuan akting saya tergerus sebetulnya. Betul deh. Entah berapa batang cokelat saya habiskan setiap harinya. I am chocolate addicted. Kalau sudah GRG (galau, resah, gelisah), si cokelat inilah yang setia melumerkan GRG itu. Hasilnya? Eh kok anggaran jajan grafiknya ikutan memanjat bukit, ya. Maaf, saya tidak sedang membahas jajanan cokelat jago. Atas nama tuntutan karir, uhuk! Saya harus tetap menampakkan wajah penuh senyum berseri sepanjang hari, di hadapan klien maupun tim di kantor. Saya ini pendengar setia ‘curhatannya’ klien. Jangan sampai mereka berhenti ‘curhat’ gara-gara melihat raut wajah saya yang bermuram durja. Saya juga tidak mau tim di kantor melihat saya seperti mereka melihat pembunuh berdarah dingin gara-gara senyuman cuti dari wajah.
Tertawa itu bukan hanya lahir dari cerita, gambar atau kejadian lucu. Lebih dari itu, tertawa itu alamiah lahir dari hati yang bahagia. Salah satu sinyal bahagia itu saya temukan di suatu tempat waktu sedang jalan-jalan. Ingat ya, bahagia itu diciptakan, tidak usah dicari susah-susah, apalagi cuma ditunggu lewat depan rumah. Tukang pempek langganan saja harus saya telepon dulu supaya dia mau lewat.
Kira-kira saya jalan-jalan kemana, ya? Tidak jauh-jauh, kok. Tanpa perlu mengeluarkan keringat apalagi ongkos.
Alkisah, saya menemukan sebuah rumah yang dari depan sebenarnya tampak sederhana. Sebuah logo dengan angka yang mengingatkan saya pada peristiwa kerusuhan di hari terakhir Ujian Nasional saat SMP tertera di sana. Tok-tok-tok … Pintu gerbang kayu itu terbuka. Daaann … wah! Saya menemukan banyak wajah di dalamnya. Sebenarnya, itu adalah ‘rumah’ yang selama ini sudah saya tinggali. Tapi selama ini rasanya masih sekedar indah. Tapi seiring dengan semakin bertambahnya anggota keluarga yang ‘pulang’ ke rumah tersebut, suasananya berubah menjadi ceria, istimewa, dan luar biasa.
Rumah itu mengingatkan saya pada kehidupan belasan tahun silam. Saat kami semua masih imut-imut, setengah polos (pikirkan sisi psikis, jangan fisik), dan belum dibebani dengan permasalahan hidup apalagi perekonomian seperti saat ini.
Ada Nu’man Erianda. Ehm saya tidak berani macam-macam nih kalau sama yang ini. “Assalamu’alaikum, Pak Haji.” Bapak yang satu ini tuh pembawaannya tenang, damai, makmur. Saya sedikit tidak paham dengan diri sendiri, tengah membahas seorang Nu’man atau “Desaku yang Kucinta.”
Andri Al Aziz. Pria (uhuk) satu ini wajahnya nyaris tidak berubah sejak masa SMP selain terlihat sedikit berumur. Gaya bicaranya masih sama. Pembawaannya sudah seperti Pak Haji juga. Semoga disegerakan. Entah kenapa, hanya Andri seorang yang saya lihat plek-plek berdiri di depan Ka’bah. Semoga tanda ya, Bro. Jangan pernah lelah merangkum cerita kita, khususnya untuk ‘saudara-saudara’ kita yang terserang infeksi ‘missed calls’ eh ‘missed messages’.
Erix Yunanto. Kepada pria (uhuk) satu ini saya sebal setengah mati. Berkali-kali yang lain ikutan main ke rumah, dia adaaa saja alasan tidak hadir. Bukan apa-apa. Kan jadi dimanfaatin tuh jatah makan siangnya oleh teman-teman lain. Katanya, Erix titip salam dan titip makan. Tapi Erix ini seorang pahlawan tanpa tanda jasa untuk calon sampul buku saya. Bukan seorang guru, tapi dia memang tidak minta bayaran. Supaya aman, saya pun tidak menawarkan. Semakin kesini, saya perlu waspada. Erix sudah mulai mencoba mengambil lahan menulis saya. Sudahlah, jadilah desainer sejati. Oke, Bro?
Kisah ‘keluarga’ kami ini semakin ceria dengan kedatangan seorang Bibi Chandra, eh Bobby Chandra. Maaf ya Bi, saya nyaris lupa punya seorang Bobby di masa lalu. Maaf juga, saya masih mau panggil kamu Bibi Chandra. Silakan aja kalau mau nyahut seperti dulu, “Bi-bi … Emang gue Bibi lo?” Padahal kalau dikenang-kenang, saya sangat berjasa dalam menorehkan tinta di buku catatannya. Bukan karena saya begitu memuja dia, tapi itu terjadi untuk keamanan dan keselamatan diri. Bagaimana tidak? Kalau menolak, Bobby yang duduk di belakang saya, dengan agresifnya menarik-narik rambut saya. Atau dia menggunakan jurus lain dengan menjulurkan kakinya –yang sebetulnya sudah panjang itu- untuk menendang kaki saya dari bawah meja. Kejam, kan? Iya, memang. Hampir lupa, dulu menulisnya pakai pulpen siapa, ya? Kalau pulpen saya, saat ini waktunya meminta ganti rugi.
Lalu ada Benny Surya Maryana. Pria (uhuk) satu ini kalau ketemu saya mungkin kena komplikasi khawatir setengah waspada, ya. Takut kalau saya membocorkan rahasianya di masa lalu. Ini soal siapa naksir siapa. Tapi sudahlah, itu masa lalu. Meskipun saya masih suka iseng menggoda dia dengan nyaris menyebut ‘gadis ABG’ pujaan hatinya dulu. Om Benny, you’re so cute with the pink shirt. Ahahahai … Please deh, mbok ya warna seragamnya dibuat lebih macho sedikit.
TB. Ah, saya tuh ingat sekali sama wajah kamu. Tapi sepertinya dulu kita nggak pernah bicara, ya. Bicara baik-baik, maupun bicara marah-marah. Kenalan dulu atuhlah. Yak, sudah kenal. Hahahai … lihat wajahmu di foto sungguh-sungguh berbeda. Pria (uhuk) satu ini lucu-lucu polos bagaimanaaa gitu. Pusatnya pengeroyokan di ‘rumah’ sepertinya ada sama dia ini.
Marisca, wanita (uhuk) yang super duper aktif. Bukan karena dia suka senam aerobik di ‘rumah’, ya. Lalu aktif bagaimana? Yuk kita telusuri. Sumpah, saya tidak habis pikir dengan teman saya yang satu ini. Aktif sepanjang hari di grup padahal jam kerja. Kok bisa, ya? Saya saja sampai tertinggal 1017 notifikasi, lho. Asistennya di kantor pasti banyak nih. Sudah begitu, aktif pula mengirimkan gambar makanan. Chattingan terus, makan terus. Kapan kerjanya? Sudah begitu, setiap akhir pekan selalu jalan-jalan, menginap di tempat peristirahatan. Banyak kali duit kau, Marisca. Chattingan terus, makan terus, kerja tidak, jalan-jalan terus. Pinjam primbonnya, boleh?
Heti Suzana, wanita (uhuk) yang hobi masak dan dari gambarnya sih sepertinya rasanya enak. Sayangnya, dia hanya kirim gambar dan perut saya tidak serta merta kenyang karenanya. Makanan nyata di depan mata saja saya susah kenyang, apalagi cuma gambar, ya. Hai, Bu, kapan main film? Jangan horor, ya. Komedi saja seperti di ‘rumah’ kita.
Rohani. Nah, ini nih sosok yang saya baru sadar kalau ini adalah Rohani yang dulu sering saya juluki Noni Belanda karena kulit putih, struktur wajah, dan rambutnya yang warnanya kecoklatan. Entah faktor genetis atau karena sering membantu ibu menjemur pakaian. Sama sekali tidak Indonesia deh. Sayangnya hidungnya kurang lancip juga kalau mau disebut Belanda asli. Dulu kalem, tapi sekarang mulai beraksi. Seperti saya, katanya? Aih, dulu saya pendiam? Waktu dan keadaan ternyata telah mengubah saya menjadi seperti petasan.
Ada banyak sekali nama yang belum saya ceritakan di sini. Ini belum termasuk nama-nama yang memilih ‘melambaikan tangan’ karena tidak kuat menahan tawa (atau kegaduhan, ya?). Aduh, film pun tidak semua tokoh disebut, kan? Anggap saja ini yang lainnya adalah tokoh figuran. Kelihatannya tidak ada, tapi cerita tidak mengalir tanpa mereka. Lain waktu saya pikirkan ya bagaimana membuat cerita lalu semua nama jadi tokoh utama.
‘Rumah’ ini nih yang berhasil menyelamatkan senyum dan tawa saya belakangan ini. Alamiah tanpa perlu saya berpura-pura. Soalnya memang penghuninya ramai luar biasa. ‘Rumah’ ini salah satu tempat saya bisa menjadi diri sendiri. Mau tertawa sampai guling-gulingan di rumput bisa. Mau melucu bisa. Mau mengerahkan betapa ‘gelo’-nya saya juga bisa banget. Tanpa tambahan bumbu, tanpa malu-malu.
Temukan kebahagiaanmu. Kalau sudah bahagia, tertawa itu mudah. Kalau tertawa saja mudah, apalagi menjalani hari. Mengalami kesulitan untuk tertawa? ZETA’98 adalah rumahnya orang yang mau bahagia. Kan tadi saya bilang, kalau sudah bahagia, tertawa itu gampang. Sudah tahu jalan menuju kemari? Ketok saja Erix Yunanto. Jangan pakai palu. Dia bukan tembok rumah. Pakai jari saja dijamin dia sudah menengok sambil nyengir.
Teruntuk alumni ZETA’98, yuk kita ‘pulang’. Thanks for reading and enjoy this weekend!
The happier me,
-Melina-