Dua Perempuan, Dua Lelaki, dan Cinta yang Terkapar

***

Galih

Aku berjalan setengah berlari mengejar perempuan yang sudah berbilang purnama menyekap hati.

“Yesha! Tunggu!” Dahaga menendang-nendang kerongkongan. Perempuan penyekap hatiku ini memang luar biasa lincah. Ia berjalan dan berlari seperti seekor kancil.

“Hai, Galih!” Yesha menghentikan langkah. Wajah cantiknya bersinar oleh senyuman, “kok seperti dikejar maling begitu?”

“Kamu tuh ya, kebiasaan. Jalan apa lari, sih?” Aku pura-pura bersungut.

Yesha terbahak. Tangannya sigap mengeluarkan selembar sapu tangan dari saku. Sebentar saja, selembar kain biru muda itu melolosi butiran peluh di pelipisku.

“Terima kasih.” Tulus kalimat itu luruh untuknya. Mataku berhenti di kedua matanya. Yesha tampak salah tingkah.

“Sudah, ah.” Ia memukulkan kepalan tangannya ringan di pundakku.

“Sha …,”

Lelaki itu lagi. Kutelan ludah. Pahit.

“Hai, Ga.” Yesha menolehkan wajah ke arahku. “Galih, aku duluan, ya.”

Lunglai, kuanggukkan kepala. Cemburu melesak di dada.

***

Yesha

Aku menyayangi Galih, seperti aku menyayangi Rama, saudara kembarku. Kakak satu-satunya yang kumiliki di dunia. Tapi itu dulu. Sepuluh tahun yang lalu. Sebelum genangan darah di perut membawanya pada kematian. Setelah itu, dia bukan lagi milikku. Sebab ia tak bisa kuajak bicara, apalagi memberiku pelukan.

Sepeninggal Rama, Galih menjagaku. Bukan sebagai adik seperti yang dilakukan Rama dulu. Ia pernah mengatakan kalimat cinta yang disusul dengan kecupan lembut di bibirku.

“Aku mencintaimu, Sha.” Kulit tubuhku meremang.

Setelah ia pulang, kubawa tubuh ke kamar mandi. Menggosok bibir dengan washlap yang telah dituangi sabun cair. Lalu berulang kali kutuangkan larutan penyegar mulut, menginginkan aroma Galih pergi dari setiap jengkal tubuhku. Aku menyayanginya, bukan mencintainya.

***

Kinar

Sejak kecil, kami tumbuh bersama. Bagai sahabat. Berangkat dan pulang sekolah bersama. Mengayuh sepeda beriringan. Menerbangkan layang-layang yang buluhnya ia raut sendiri dengan tangannya. Aku yang seharusnya mewarnai tetapi seringkali ia mengacaukannya. Warna-warni cat air akan ia goreskan di kedua belah pipiku. Tak mau kalah, kulakukan hal yang sama. Pada akhirnya, semua orang akan tahu. Layang-layang terbaik diterbangkan oleh Galih dan Kinar. Cari saja seorang anak laki-laki dan perempuan dengan coretan cat air di kedua belah pipi.

Kami beranjak remaja. Mengetahui lebih banyak hal dibandingkan dulu. Aku mulai jatuh cinta. Pada Galih.

“Aku jatuh cinta, Nar.” Galih bercerita pada sore yang basah oleh derasnya hujan.

“Oya? Sama siapa?” Debur di dadaku semoga saja tak mengalahkan deru hujan yang semakin menderas.

“Yesha.” Gemuruh terdengar dari langit. Dan hatiku.

Aku patah hati di detik aku jatuh cinta.

***

Hangga

Aku bertemu dengannya pada suatu malam di depan deretan ruko di pinggir kota. Ia tengah dalam bahaya kala itu. Yesha. Jangan tanya bagaimana terhenyaknya aku melihat dia lagi.

“Terima kasih.” Suara itu lebih seperti bisikan. Lirih sekali.

“Tak apa. Kamu baik-baik aja?” Ada nada khawatir dalam suaraku, dan aku tidak tengah bersandiwara.

“Bi-sa pu-lang sen-di-ri?” Aku gugup, bukan takut.

Yesha mengangguk perlahan. Ia berjalan mengitari mobil, membuka pintu, dengan mata yang tak henti menatapku. Tatapan yang seperti menelanjangi, membunuh, lalu menguburku hidup-hidup.

***

Galih

Aku dan Rama bersahabat sejak remaja. Kami menghabiskan masa sekolah bertiga. Rama, aku, dan Kinar. Hingga hari naas itu tiba. Hari saat matahari merekah memanggang bumi. Kami bertiga berdiri di depan halte, ketika tiba-tiba terdengar suara menggaung rusuh. Dari kejauhan, puluhan anak remaja seusia kami berlari dengan tatapan garang. Sebilah celurit, pisau, dan rantai tergenggam di tangan. Jarak antara kami begitu dekat. Manusia-manusia beringas di hadapan kami membawa benda tajam di tangannya ke udara.

“Ramaaa!” Kinar menjerit. Tubuhnya roboh bertemu tanah. Debamnya meninggalkan debu beterbangan di udara. Darah mengalir dari perut yang ia dekap dengan tangan dan rintihan. Sebentar saja, rintihan itu hilang. Seiring dengan kepala yang jatuh terkulai.

Kinar menjerit memanggil nama Rama. Ia masih duduk berlutut sambil meminta tolong. Kubangkitkan tubuhku, berdiri tegak. Nyalang mataku mencari siapa penjahat itu. Dari arah berlawanan, sesosok tubuh berdiri tegak dengan wajah menegang. Wajah pucat seorang pengecut.

“A-Aku nggak sengaja.” Suaranya bergetar cemas. Sekejap saja, ia berlari kencang. Tubuhnya hilang ditelan pikuk jalanan.

***

Yesha

“Buat apa kamu datang kesini?” Kudorong pintu agar kembali menutup. Tapi rupanya tenaga Galih lebih kuat. Ia berhasil mendorong pintu dari arah luar hingga kembali terbuka lebar. Ditahannya pintu dengan satu kaki.

“Kita harus bicara, Sha!”

“Soal apalagi? Mau mengatur hidupku lagi?” Sia-sia usahaku menutup pintu. Akhirnya kubiarkan ia masuk dan berkata semaunya.

“Kamu harus menjauh dari Hangga, Sha!”

“Jangan mengaturku!”

“Aku berkata begini karena kamu belum tahu siapa dia!”

“Karena dia pembunuh kakakku?”

Galih terbelalak. “kamu tahu itu?”

Kuanggukkan kepala tanpa menatap matanya.

“Lantas?”

“Bagaimana kalau kubilang aku jatuh cinta sama dia?!” Tajam kuucapkan kalimat itu.

“Tapi kamu nggak boleh, Sha!”

“Apa kamu bisa memilih pada siapa kamu jatuh cinta? Kamu bisa? Kenapa kamu memilih jatuh cinta sama aku?”

“Sha, kita nggak bisa memilih pada siapa kita jatuh cinta. Tapi kita bisa memilih orang yang kita cintai.”

“Kenapa kamu nggak memilih mencintai Kinar? Perempuan yang jelas-jelas mencintaimu.”

Wajah Galih terkesiap. Amarah melingkupinya kemudian.

“Kamu nggak tahu siapa dia, Sha.”

Kamu juga nggak tahu siapa Hangga.

***

Kinar

Aku dan Galih bukan sekedar sahabat. Kami saudara sepupu. Setidaknya itulah yang dulu dikatakan ibu. Ibu yang selama ini membesarkan kami berdua bukanlah ibu kandung satu di antara kami. Aku dan Galih sama-sama tahu. Kami pun sama-sama tak peduli siapa yang merupakan anak kandung dan siapa yang menjadi keponakan. Hingga kemudian waktu menghamparkan kebenaran di hadapan kami. Aku bukan putri kandung ibu, bukan pula keponakannya. Aku adalah putri yang sesungguhnya tak diharapkan di rumah ini. Putri dari seorang perempuan yang telah mengandung anak dari ayah kami. Ayah berjanji meninggalkan perempuan itu, ibuku. Tapi ayah ingin aku tetap berada di dekatnya.

“Aku benci kamu, Kinar. Nggak seharusnya kamu lahir, apalagi tinggal di sini.”

Sejak saat itu, Galih membenciku. Sayangnya, aku malah semakin mencintainya.

***

Hangga

Sepertinya telah terjadi kesalahan atas kehidupan di dunia ini. Yesha jatuh cinta padaku.

“Aku bukan lelaki baik, Sha. Aku nggak pantas untuk kamu.” Sungguh, aku tersiksa mendengarnya mencintaiku.

“Kamu adalah pembunuh saudara kembarku. Tapi kamu sudah menebusnya dengan menyelamatkan nyawaku.”

“Apa maksudku?”

“Kamu ingat peristiwa di malam kita pertama kali bertemu?” Aku mengangguk bingung, “kalau saat itu kamu nggak ada, mungkin aku sudah mati terbunuh kawanan perampok itu.”

Yesha mengingatnya. Pertemuan yang menjadikanku pahlawan untuknya. Dadaku merintih perih. Ini tidak mungkin.

Malam sebelum peristiwa itu, aku melarikan diri dari penjara. Tempat terkutuk yang bertahun lamanya kudiami karena melemparkan parang pada orang yang tak kukehendaki. Berbagai kutukan dan cacian datang kala itu. Termasuk dari orang tua dan saudara kembar korban. Yesha datang seorang diri ke penjara. Dari balik jeruji yang kasar berkarat, aku menyaksikan mata beningnya yang terluka.

“Kamu bukan hanya pembunuh. Kami pencuri. Mencuri saudaraku satu-satunya.”

“A-Aku sudah bilang. A-Aku nggak sengaja. Sungguh.” Napasku tersengal satu-satu. Jemariku menggenggam erat jeruji besi sambil terus berharap ia tinggal. Aku lelah dibenci.

***

Galih,

Pada akhirnya aku tahu kenapa kamu tidak bisa mencintai Kinar. Jika menjadi dirimu, mungkin aku juga akan bersikap sama. Mana mungkin jatuh cinta pada anak dari perempuan yang menyakiti ibumu? Kinar ternyata juga menyimpan rasa padamu. Adikmu sendiri. Bagaimana dengan diriku? Aku jatuh cinta pada lelaki pembunuh saudara kembarku. Lelaki yang tidak mencintaiku. Ia hanya rindu untuk tidak dibenci.

Kamu pernah berkata bahwa benar kita tidak bisa memilih pada siapa kita jatuh cinta. Dia adalah Hangga.

Tapi kamu juga pernah berkata bahwa kita bisa memilih orang yang kita cintai. Dia belumlah dirimu. Mungkin suatu saat nanti.

-Yesha-

 

The happier me,

-Melina-

 

Leave a Comment