Love Me Not My Body (Chapter 1)

“Udah ah, aku duluan, ya. Lapar nih!” Kontan saja toyoran dua sahabatku itu mendarat mulus di dahiku yang mulus tanpa jerawat.

“Lapar melulu sih. Katanya mau diet, mana buktinya?” Nania meleletkan lidahnya. Bentuk tubuh gadis berambut lurus panjang itu sungguh molek. Ia tak hanya tinggi, tapi juga berisi. Terutama di bagian-bagian yang, kuyakin, setiap perempuan memimpikannya.

“Nantilah. Kalau ketemu pangeran idaman.” Aku harus segera keluar dari mobil ini sebelum khutbah panjang Nania tentang menjaga bentuk tubuh berdesing di kedua telinga.

Bayangan buram Rossa dan Nania yang tengah terbahak dengan telapak tangan menyumpal mulut, membuat tanganku terkepal, melayang, dan berhenti di udara. Keduanya dilesatkan pergi oleh roda empat itu. Aku berjalan dengan kepala memutar, mengamati sepeda motor itu. Langkahku terhenti, terpaksa berhenti. Sesosok tubuh tinggi tegap menempel dengan tubuhku. Kudongakkan kepala dan memekik.

“Aaaargh! Siapa kamu?” Aku bergerak mundur. Menjauh.

Pemilik tubuh tinggi tegap itu tersenyum tipis. Dan wajahnya, oh wajahnya! Ia sanggup membuat mulutku menganga dengan begitu noraknya. Lekas kuterbangkan telapak tangan ke depan mulut. Menguncinya rapat-rapat.

“Saya mau cari tempat kost. Ada kamar kosong kan?” Ia menunjuk papan bertuliskan “Terima Kost Mahasiswa” yang kuingat dipasang oleh ayah seminggu yang lalu.

“Oh, eh, ehm, sepertinya ada.” Kupindahkan tangan ke kepala. Mencoba merapikan rambut dengan menyapukan telapak tangan di sana. Kedua tangan bergerak mengusap seragam putih dengan bordiran OSIS di bagian saku. Seolah dengan begitu, kemeja yang sudah kusut masai itu bisa kembali licin seperti habis disetrika.

“Jadi, saya bisa ketemu siapa?” Si tampan ini harus setengah membungkuk untuk menyesuaikan dengan tinggi badanku.

“Masuk aja. Saya panggilkan mama.”

Si tampan itu menggeser tubuh. Memberikan jalan agar aku bisa leluasa mendorong pagar. Duh, padahal kan aku maunya nempel lagi sama dia? Nakal sekali otakku ini.

Jadilah, hanya dengan 15 menit saja berbicara dengan mama, tentunya sudah termasuk dengan melihat-lihat kamar beserta isinya, si tampan itu resmi menjadi anak mamaku. Eh, maksudnya anak kost mamaku. Jangan jadi anak dong! Anak menantu boleh. Toh, anak mama kan memang cuma aku. Raveena! Mulai deh sablengnya, hati kecilku usil menjawil.

 

***

 

“Adaw!” Kepalaku hampir terbentur meja gara-gara Rossa. Dengan tak berperikemanusiaannya ia merebahkan tanganku yang tengah berpangku pada tulang pipi dan pelipis. Melamun. Setelahnya aku ribut meminta pertanggungjawaban karena lamunanku kembali terbang.

“Seganteng apa sih dia?” Nania ingin tahu.

“Paling juga gantengnya standar.” Rossa menimpali dengan sadisnya.

Aku yang sedang mencoba memulai lamunan, bergerak ke arah mereka.

“Haduuh! Kalian berisik banget, sih? Pada ngomongin apaan?”

“Si tampan, Raveena. SI-TAM-PAN. Laki-laki yang berhasil membuat kamu melamun selama jam pelajaran-” Rossa menolehkan kepala pada Raveena.

“Dan seminggu terakhir.” Nania menambahkan.

“Ooo … dia. Maksud kalian tuh calon membantunya mamaku, ya?” Aku memutar bola mata lucu. Mendengarnya, Rossa mendelik. Sementara Nania sigap menutup mulutnya dengan telapak tangan. Ia membuat gerakan ingin muntah. Tawaku meledak. Memberi kejutan pada seantero kelas.

 

***

 

Tubuh kami bertiga berdesakan. Masing-masing berebut memperoleh posisi ternyaman untuk menangkap mangsa. Memang kami ini manusia-manusia setengah harimau yang langsung menggeram lapar melihat laki-laki berlabel tampan. Tubuh kami saat ini dalam posisi duduk bertumpu dengan lutut, di sebuah sofa putih, di ruang tamu rumahku. Tubuh kami menghadap ke arah dinding. Tepatnya dinding berjendela. Lebih tepat lagi, ke arah luar jendela.

Dari balik kaca jendela yang tertutup tirai berwarna biru keemasan, kepala kami menyembul, menatap keadaan di luar sana. Sesekali tanganku menarik tirai. Sebentar kemudian Rossa. Beberapa detik kemudian Nania. Apalagi saat pandangan kami tertutup tirai itu, atau malah tersingkap menampakkan wajah yang memang seharusnya disembunyikan.

Begitu khidmatnya kami mengamati si tampan yang tengah mencuci motornya di luar sana. Si tampan itu nyaris sempurna. Tubuhnya tinggi tegap. Dada bidangnya pasti nyaman sebagai tempat bersandar, uhuk! Perutnya rata dan tampak begitu kencang. Mungkin dia salah satu makhluk pemakan bata merah dan batako. Kulitnya putih bersih. Hidung mancungnya kuyakin asli. Bukan rekayasa atau hasil akhir penjepit hidung yang banyak dijual di toko online.

Tiba-tiba … sreeet! Tirai biru keemasan itu robek, kemudian terjatuh menutupi tubuh kami bertiga. Rupanya tenaga kami tarik-menarik tirai itu cukup kuat juga. Butir-butir pengaitnya berlarian, menimbulkan bunyi denting gemerincing di lantai.

“Raveenaaa! Apa-apaan sih ini?!” Mama berteriak murka. Tiba-tiba saja wanita yang melahirkanku ke dunia itu sudah berdiri di belakang kami. Kedua tangannya bersiap di pinggang kanan dan kiri.

Kami bertiga gelagapan. Meminta maaf. Tapi tak ada ampun. Sore itu, kami bertiga menghabiskan waktu lebih dari tiga jam di sebuah pusat perbelanjaan, demi mendapatkan tirai serupa untuk mama. Sebelumnya, kami bertiga diwajibkan menggosok sofa yang-menurut mama-berubah warna karena jejak dekil kaki yang lalai dicuci.

Parahnya lagi, sejak saat itu si tampan selalu mengurungkan niat mencuci sepeda motornya jika terlihat gerakan tirai yang aneh di jendela ruang tamu rumahku. Berprasangka positif saja, mungkin ia tak ingin ada lagi korban jiwa.

Leave a Comment